Bagian Dua
🐖

Bagian Dua

Tags
kandang babi
novel
Published
Oct 26, 2017
Aku tetap saja masih duduk disini, membosankan aku ingin berdiri dan berjalan-jalan entah itu kemana, tetapi tubuh ini tidak mau melakukannya, tetap saja duduk sambil menanti tampak seorang yang keluar dari rumah itu, lalu otak ku menyimpulkan bahwa perbuatan ku kali ini tidak akan membuahkan apa-apa, ku paksakan tubuh ini, berdiri, berhasil berdiri, hanya beberapa detik aku duduk kembali ke tempat semula, kali ini aku benar-benar muak.
Tubuh ini berdiri, aku berjalan memasuki kandang babi, arah ku tertuju ke kamar mandi, rasanya lega, sudah hampir setengah jam aku menahan buang air kecil ini, sekarang aku hanya merasakan kenikmatan, ku hentikan dengan pelan-pelan, aku tidak mau ada yang tersisa dari kegiatan buang air kecil kali ini, aku sudah berusaha menampung dan menahannya selama setengah jam, aku harus berbuat baik terhadapnya.
Tidak lupa aku menutup kembali pintu kamar mandi, tidak terlalu enak dipandang kamar mandi itu, kalau saja aku memasukinya dalam keadaan pintu terbuka, aku harus memikirkan untuk meninggalkannya, tetapi kalau pintu tertutup, aku harus terpaksa masuk, hal kecil itu tidak terlalu penting, tetapi selalu saja aku lakukan, sudah menjadi kebiasaan, aku menarik napas kembali, lega sekali, cukup pengap juga berada di kamar mandi.
Lapig terlihat terburu-buru, dia mengganti pakaian tanpa melihat terlebih dahulu, apa yang membuatnya seperti itu, “pig, mau kemana buru-buru sekali?”, aku bertanya, “aduh, aku terlambat satu setengah jam, sedangkan mata kuliah masih tersisa setengah jam,” lapig menjawab dengan napas yang tidak karuan, entah apa yang membuatnya harus berangkat ke kampus, waktu yang tersisa hanya setengah jam, belum dipotong waktu dalam perjalanan, mungkin ketika masuk ruang perkuliahan, dia hanya memiliki waktu beberapa menit saja, lalu jam mata kuliah habis.
Pada kenyataannya aku tidak peduli, dengan masalah yang menimpa lapig pada saat itu, aku menghampiri nade untuk meminta uang,
“de, mau ngopi tidak?” aku sedang berbasa-basi kali ini,
“mau lah.”, nade menjawab dengan semangat,
“tapi, tidak ada uang untuk membelinya”, aku tidak tahu apakah nade menjawab pernyataan itu dengan basa-basi atau tidak, seperti dugaan ku sebelumnya, nade menyuruh mengambil celana yang berada di gantungan, aku mengambilnya,
nih, mon buat beli kopi kembaliannya buat beli temannya kopi, biar tidak kesepian kopinya.”, aku tidak perlu menjawab basa-basi yang keluar dari mulut nade.
Aku harus menerima, perintah dari nade, memang seperti ini rasanya ketika ingin ngopi, tetapi tidak mempunyai uang untuk membelinya, aku kadang kesal dengan yang namanya uang, mengapa harus memakai uang, dari ujung kali sampai kepala harus memaki uang untuk mendapatkannya, kali ini aku tidak dibuat kesal olehnya, aku bisa menikmati kopi dengan uang ini, dugaan ku pasti ada kembalian sehingga aku bisa membeli beberapa batang rokok, aku berjalan sepertinya hidup ku dipenuhi untuk melangkah ke warung.
Warung sudah terlihat di depan mata, pada awalnya aku ingin membeli kopi dalam kemasan dan menyeduh di kandang babi, tetapi niat awal itu aku batalkan, sepertinya aku harus bekerja dua kali untuk menikmati kopi, karena aku menyadari uang untuk membeli kopi ini adalah uang pemberian nade, aku tidak mau lagi disuruh untuk membuat kopi, mengapa tidak menyuruh yang menjualnya, keluar uang untuk membayar jasanya tidak mengapa, aku masih yakin sisa kembalian masih banyak. Kopi dalam gelas, tidak perlu ku kembalikan gelas ini ketika kami selesai menikmati kopi, aku hanya mengembalikan gelas ini jika tukang warung menanyakannya, jika tidak gelas itu menjadi pajangan atau dekorasi di kandang babi dengan bentuk yang sama seperti semula tetapi ampas kopi menjadi penghias di dalamnya, akan berbeda rasa ketika kopi itu di dalam gelas, berbeda dengan kopi yang di dalam bekas minuman kemasan, rasa plastik akan melekat dalam kopi tersebut, sebenarnya aku cukup membenci kopi dalam gelas plastik.
Dugaan ku benar, kembalian masih tersisa cukup banyak, aku tidak mau membeli beberapa batang rokok, kali ini aku membeli sebungkus rokok dengan merek yang cukup mahal dikalangan mahasiswa, tetapi kembalian masih ada, mungkin kembalian ini cukup untuk membeli gelas ini, berjalan kembali menuju kandang babi tangan kanan memegang gelas, terasa hangat tangan kanan ku, tangan kiri memegang kantong kresek berisi sebungkus rokok, dan tidak perlu ku beri tahu pasti ada roti di dalamnya, aku tidak terlalu lapar tetapi aku hanya ingin membelinya, aku tidak mau mengambil kembalian dari uang itu, dan nade pun tidak akan menerimanya, pikir ku.
Tampak kandang babi dari luar, cukup bagus juga rupanya setelah aku pandang cukup lama, terlihat sejuk, walau kadang tidak terlalu bersih, itu juga menurut orang, mereka hanya bisa menilai tidak mau membersihkan, aku terus saja berjalan tidak melirik ke kanan dan kiri, pandangan ku hanya tertuju pada kandang babi, entah mengapa kali ini aku ingin membersihkan kandang babi, sampai pada depan pintu kandang masuk, aku telah masuk keinginan untuk membersihkan tidak ada lagi, kali ini aku sibuk menikmati kopi, nade datang menghampiriku dengan mimik muka yang berseri-seri, dia berjalan sambil melompat-lompat mengikuti apa yang kangguru lakukan, entah dari mana dia tahu tentang kangguru.
Pagi menuju siang memang waktu yang tepat untuk menikmati kopi, aku selalu saja ingin menikmati kopi di waktu itu, apa yang membuat aku ingin sekali menikmati kopi, terlalu pagi tidak mungkin, atau mungkin juga jika aku bangun lebih pagi dan kopi ada tersedia, aku sudi untuk menikmati kopi di pagi hari, tetapi jika tidak terjadi aku rela tidak melakukannya, untuk saat ini aku menikmati waktu ini, tidak perlu memikirkan masa depan, apalagi masa lalu, terlalu sempit otak ku untuk memikirkannya, tangan ini tanpa perlu diperintah memegang gelas yang berisikan kopi, aku memegangnya pelan-pelan, lalu meminumnya pelan-pelan juga, aku tidak mau terburu-buru.
Panas juga, aku meniupnya dengan pelan-pelan, lalu ku tonggak rasanya sedikit pahit, tidak terlalu panas, mungkin penjual kopi itu memasukan air panas terlalu banyak, tetapi itu semua tidak masalah, aku masih bisa menikmatinya, demi apa pun kopi ini sungguh enak, ternyata kopi yang enak adalah kopi bikinan orang lain, entah mengapa bikinan sendiri rasanya tidak terlalu nikmat. Atau mungkin perasaan ku saja saat itu, aku tidak peduli, ini kopi yang enak.
Pikiran ku mulai dipenuhi oleh entah itu bisa disebut imajinasi atau khayalan, aku benar-benar tidak tahu, mungkin aku berlebihan menikmati kopi kali ini, memang kopi bukan buatan kita sendiri ditambah kita tidak mengeluarkan uang untuk membelinya adalah kebahagiaan, entah aku memang pelit atau pemalas, tetapi aku tidak mengakui kedua sifat itu pada diriku.
Mata ini menatap kosong di depan gelas kopi yang baru saja aku nikmati, aku terbangun dalam tidur yang cukup lelap, tidur tidak terlalu malam, dimana kebanyakan orang mulai bersantai untuk menikmati kegiatan pagi hari yang melelahkan, seingat ku bangun sekitar pertengahan malam, di luar masih gelap, lampu rumah-rumah disekelilingnya ku masih padam, suara kicauan ayam masih belum terdengar, aku terbangun tanpa ada rasa untuk tertidur kembali, rasa kantuk pun tidak menghampiri ku lagi, tanpa rasa ingin tidur kembali aku berdiri dari posisi tidur.
Langkah kaki membawa diri ku keluar dari kandang babi, dan mulai menyusuri gang-gang yang sempit, sungguh masih terasa sepi sekali, tidak aktivitas yang terjadi, mungkin maling pun sedang tidak melakukan kerjaannya, aku terus berjalan, semua ini tanpa kemauan dari diri ku, entah siapa yang memerintahkan ini, tetapi aku tetap saja berjalan, tanpa ada rasa ingin memberontak dari kejadian yang ku alami, langkah kaki ini, mengantarkan ku pada jalan raya yang cukup besar, jalan raya itu hanya dilewati oleh beberapa mobil saja, aku tidak sempat menghitungnya, mungkin ada empat yang melewati jalan di jalur kiri dan satu di jalur kanan.
Tidak ada rambu-rambu untuk menyebrang jalan, aku dengan mudah menyebrang jalan tanpa ada yang menghalangi, tidak ada lagi kendaraan yang melintas saat aku mulai menyebrang, melewati jalur disebelahnya, langkah kaki ini terus berjalan menuju bundaran yang ada di depan itu, ku lihat lampu-lampu taman masih menyala hidup-hidup, tanpa disadari aku telah sampai di taman yang berada di bundaran, aku lompat pagar yang melindungi taman tersebut, tidak ada polisi yang melarang, atau petugas bersih-bersih, aku dengan mudah melakukannya.
Udara yang begitu dingin, tetapi tidak begitu terasa pada di tubuh ku, lalu tubuh ini aku terabaikan di atas rumput yang baru saja dirapihkan sepertinya, aku tidur di atas rumput tangan, lalu aku tersadar dari lamunan ku, puntung rokok yang masih menyala jatuh di kaki ku, membuat sedikit luka bakar, dasar rokok sialan, aku tersadar sedang menikmati kopi dan merokok dengan lapig pagi itu, sialan aku berkhayal yang tidak masuk oleh akal sehat ku, apa manfaatnya tidur tengah malam di taman yang berpagar.
“mon, ngopi lagi nih, jangan melamun saja”, nade mempertegas bahwa aku sudar sadar, tangan ku meraih kembali kopi yang ada di samping nade, aku tonggak kembali, sudah tidak terlalu panas, hangat terasa, tetap aku meminumnya dengan pelan-pelan, aku tidak mau kopi itu cepat habis, aku ingin menikmati pagi menjelang siang yang panjang dari biasannya, rokok masih banyak, dan aku masih malas untuk sekedar mandi. Rokok yang sedang ku jepit, sudah hampir habis rasa hangat sudah mulai ku rasakan di sela-sela jari, ku lempar puntung rokok itu jauh-jauh dari penglihatan ku tidak asbak yang tersedia, aku terpaksa harus membuang sampah dari puntung rokok itu sembarangan, ku perhatikan tidak ada yang melihat tindakan ku atas membuang sampah sembarangan, mungkin nade pun tidak sadar, aku tidak peduli kalau saja ada yang tahu.
Aku memasuki kandang babi hanya untuk sekedar minum air mineral, tubuh ku juga butuh asupan air mineral yang tanpa ada bahan tambahan untuk menjadikannya berwarna, lalu aku kembali ke luar untuk mengambil sebatang rokok, rasanya nade masih menikmati kopinya, ku perhatikan tinggal beberapa teguk lagi kopi itu akan habis, setelah aku berhasil mengambil sebatang rokok aku sempatkan untuk menengguk kopi tersebut, sebelum aku masuk lagi ke kandang babi.
Aku berjalan dengan sedikit terburu-buru menuju kamar mandi, perut ku mulas, aku tidak bisa menyalahkan segelas kopi, aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri, dengan penuh kesal aku sempatkan membakar sebatang rokok sebelum aku mulai membuang air besar, aku tidak peduli mungkin kalian jijik dengan yang aku ceritakan di kamar mandi, tetapi kegiatan tersebut terus saja dilakukan oleh semua manusia yang masih hidup setiap harinya.
Banyak sekali keluhan teman-teman ku, jika dia tidak bisa menikmati buang air dengan begitu lancar dan nyaman, bahwa lapig pernah berkata kepada ku pada suatu malam yang dingin, saat itu aku sedang merasa tidak enak hari lalu lapig menasehati ku, “hidup bahagia itu cukup dengan buang air yang lancar dan nyaman” lapig kira-kira berkata seperti itu, seingat, aku sering lupa ucapan manusia dengan tepat.
Ada benarnya juga apa yang diucapkan oleh lapig, dan salah satunya adalah setiap minum kopi aku sering mengalami rasa ingin buang air setelahnya, memang tidak setiap saat, hanya waktu tertentu aku mengalaminya, mungkin karena perut yang tidak terisi secara cukup, lalu aku meminum kopi, membuat lambung sedikit terganggu tetapi aku tidak lupa menimum air mineral, agar lambung ku tidak begitu besar melakukan tugasnya, memang ini tidak begitu penting.
Percaya lah buang air kali ini sungguh nyaman, aku bisa mengeluarkannya tanpa perlu mendorong, atau membuat tekanan agar membuatnya keluar, kali ini bisa keluar tanpa perlu ku perintah, keluar dengan begitu lancar, pernah ku ceritakan bahwa waktu buang air besar yang tepat adalah, seiringan dengan habisnya sebatang rokok, jika sebatang rokok itu habis maka waktu buang air pun berakhir, jika belum habis, maka lanjutkan lah buang air, mungkin masih ada yang tersisa.
Pintu kamar mandi terbuka, sudah waktunya aku keluar dari kamar mandi, mungkin kegiatan ini, sudah pernah dialami, buang air besar sambil merokok, lalu keluar dari kamar mandi dengan perasaan yang lega, seakan tanpa ada beban yang menghantui hari ku, mungkin tidak perlu ku ceritakan lagi kegiatan buang air besar sialan ini, aku muak mendengar ceritanya, selalu saja begitu dan berulang, tetapi harus ku akui, masih tetap aku lakukan untuk setiap harinya.
Entah aku lupa sebenarnya sekarang hari apa, aku masih saja di kandang babi dengan nade, mengecek jadwal kuliah, ternyata aku tidak punya jadwal perkuliahan, memang hampir dari awal masuk perkuliahan aku tidak pernah mencacat jadwal perkuliahan, hanya berangkat ke kampus, dan duduk mendengarkan apa yang dibocorkan oleh dosen, dan aku tidak suka mencatat pada dasarnya, mendengarkan pun aku muak.
Nade mengajak ku untuk pergi ke kampus, mungkin saja suasana disana cukup menyenangkan, aku dan nade berangkat ke kampus bersamaan, kandang babi tidak perlu dikunci rasanya cukup aman hari ini, dan kita tidak perlu mencemaskan kandang babi, sepertinya lapig sudah selesai mengikuti perkuliahan hari ini, sampai di kampus, kami tidak pergi kemana-mana, hanya duduk di tempat seperti biasa, di bawah pohon rindang tepatnya, memperhatikan mahasiswi yang melintas. Sinar matahari terik, kini tertutup oleh rindangnya pohon ini, andai saja ada wanita yang aku tunggu selama ini, datang menghampiri ku tanpa malu-malu, atau paling tidak menyapa dan memberi sedikit senyuman, aku rasa hari yang buruk atau baik, semuanya akan indah jika harus dilewati dengan senyuman manis menghampiri penglihatan ku, tetapi aku sadar hal itu tidak terjadi sekarang, aku hanya melakukan aktivitas, duduk saja, tidak ada yang istimewa, entah aku juga toh tidak tahu dimana dia berada, terus terang aku tidak tahu siapa yang ku maksud, hanya mencoba membayangkan saja tidak lebih.
Bagaimanapun juga, aku masih berharap ada seseorang datang menghampiri kami berdua, aku tidak tahu bagaimana menceritakannya, berdua dengan seorang lelaki yang sama-sama belum mandi di siang ini, nade mengajak mengobrol tentang masa perkuliahan yang sebenarnya masih lama untuk dibicarakan, aku berpura-pura mendengarkannya, terlalu menanggapi obrolan kali ini rasanya sama saja, tetap membuang-buang waktu, rupanya nade bosan juga dengan ucapannya sendiri, lalu tangannya masuk saku celana, dan mengeluarkan rokok yang masih tersisa banyak, kini perasaan ku lega, sepertinya tidak ada yang aneh-aneh terhadap kami berdua ketika mulai merokok, sebenarnya aku tidak terlalu peduli.
Tiba-tiba terdengar suara seruan dari kejauhan, lapig baru saja keluar dari gedung perkuliahan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pohon rindang, dia terlihat cukup cerah hari ini, walaupun dia sempat terlambat mengikuti perkuliahan, rupanya sempat mandi sebelum berangkat menuju kampus, “de, rokoknya sembunyikan ada lapig sepertinya mau datang kemari dia!”, tanpa menjawab nade menyembunyikan bungkusan rokok yang baru saja dia keluarkan, tidak menunggu lama, lapig sudah ada di pohon rindang yang kami tempati. Ketika lapig sampai di tempat yang kami berdua tempati tanpa basa-basi dia langsung menanyakan rokok, “mana nih rokoknya, udah merokok saja kalian?”, kami berdua tidak menjawab, hanya gerakan tubuh yang memberi tahu bahwa rokok sudah habis, dan hanya rokok yang kami hisap tersisa, wajah lapig sedikit kecewa, lalu dia kembali berjalan menuju gang kecil dimana banyak penjual segala macam berada, sepertinya dia membeli kopi atau rokok.
Setelah lapig pergi ke gang tersebut, aku dan nade tertawa jahat, sambil menahan suara tawa agar tidak terdengar oleh lapig yang sedang berjalan menuju gang, selang beberapa menit, lapig kembali datang dengan membawa segelas kopi dan beberapa batang rokok, rupanya dia mempunyai cukup uang untuk membelinya, aku mulai penasaran dari mana dia mendapatkannya, selalu saja curiga, lebih tepatnya aku hanya penasaran tidak begitu peduli, dia mau mempunyai uang atau tidak. Kopi dalam kemasan gelas plastik bekas minuman kemasan tersaji begitu indah siang itu, tangan lapig mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, sebungkus rokok, setelah itu, nade mengeluarkan juga sebungkus rokok yang sempat dia sembunyikan di balik tempat yang gelap, entah apa itu aku tidak tahu betul, dan sekarang aku tidak perlu mencemaskan adanya rokok atau tidak, siang itu sungguh siang yang indah.
Entah mengapa aku melewati siang ini begitu indah, mungkin terlalu banyak konsumsi yang lumayan banyak dari biasanya, beberapa mahasiswi melintas, dia dan temannya mungkin sedang bercanda, terlihat oleh pandangan ku, di melemparkan tawa dan sedikit senyuman yang tidak begitu lebar tetapi mampu membuat penglihatan ku menjadi sejuk, nade lapig terus saja menghisap rokok yang dia jepit diantara dua jari telunjuk dan tengah, sedangkan rokok yang aku nyalakan, terbakar dengan sendirinya ketika diletakan di atas tanah, dengan penyangga buku yang belum selesai ku baca.
Beberapa daun jatuh dari pohon, entah apa yang menandakan dia jatuh dengan semaunya, sehingga membuat pelataran kotor dengan daun-daun yang sudah rapuh berwarna kecoklatan, setidaknya pelataran di tempat yang kami tongkongi tidak begitu kotor oleh sampah plastik, daun daun yang rapuh mungkin bagi sebagian orang bisa menjadikan, pemandangan yang mengagumkan, dikala angin terus saja berhembus dengan cukup cepat.
Rokok belum saja aku hisap, tetapi sudah hampir habis, angin yang lumayan kencang membuat, rokok itu cepat habis, terbakar oleh dirinya sendiri, dan aku belum saja ingin menghisap rokok itu, aku malah ingin menengguk kopi yang masih panas, aku tiup pelan-pelan, rasanya sama seperti kopi pada biasannya, tetapi senyuman wanita yang sedang berjalan sambil bercanda dengan temannya, membuat suasana menjadi lumayan mengasikkan, walau entah senyum itu dia tuju kemana.
Selang beberapa detik, para wanita tersebut lenyap dari penglihatan mata ku, namanya juga hanya lewat, aku tidak berharap banyak dia akan tersenyum lebih lama beberapa detik, cukup tiga atau lebih sedikit dia tersenyum dalam hitungan detik, mampu membuat pikiran ku berhenti sejenak, aku memang gampang mengagumi seorang wanita yang tersenyum, dengan tersenyum mampu memberi harapan kepada yang melihat senyumannya, entah itu masalah yang tak kunjung selesai, pada dasarnya tidak ada masalah yang benar-benar selesai.
Masalah itu hanya berhenti sejenak lalu datang kembali dengan sedirinya, dikala kita menemukan, kesulitan, tetapi tertawa atau tersenyum mampu membuatnya berhenti beberapa detik, jadi jangan harap masalah itu cepat selesai, yang selesai hanyalah ilusi tentang masalah itu sendiri, aku mulai mengambil rokok yang ada di atas buku, mungkin bisa aku hisap beberapa tarikan napas, tidak terlalu buruk, aku tidak mau mengambil rokok yang baru dari bungkus, walau masih banyak tetapi hal itu hanya membuat rokok itu cepat habis.
Kebanyakan dari manusia di muka bumi, setuju bahwa senyuman dan tawa bisa membuat masalah hilang sejenak, dalam pandangan ku semua itu tidak terlalu betul, kadang aku membuat senyuman palsu, untuk menandakan bahwa semuanya baik-baik saja, aku hanya tidak ingin orang yang mengaggap bahwa mereka bisa membantu masalah yang sebenarnya, dan aku tidak butuh bantuan sama sekali, selagi masih bisa ku tanggung, aku muak dengan kalimat, “santai saja, nanti kalau ada apa-apa dibantu kok”, sungguh kalimat itu adalah racun yang harus aku telan.
Sudah waktunya istirahat, atau memang sudah habis jam mata kuliah hari ini, sehingga banyak ditemui mahasiswa dan mahasiswa berkeliaran di sekitar pohon rindang, ada mimik muka yang begitu riang gembira, mungkin sudah cukup lama menunggu waktu selesai mata kuliah pada hari ini, atau setidaknya beban untuk mengikuti perkuliahan sudah berakhir, walau besok akan bertemu lagi, ada juga mimik muka yang sedang murung, entah apa yang sedang terjadi pada.....
 
(bersambung)